BAB I
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Semantik
Ada dua cabang utama linguistik yang khusus menyangkut kata
yaitu etimologi, studi tentang asal usul kata, dan semantik atau ilmu
makna, studi tentang makna kata. Di antara kedua ilmu itu, etimologi sudah merupakan
disiplin ilmu yang lama mapan (established), sedangkan semantik relatif
merupakan hal yang baru.
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema
yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh
seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik
kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang
mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya.
Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau
tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi,
gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2). Sebuah kata, misalnya buku,
terdiri atas unsur lambang bumyi yaitu [b-u-k-u] dan konsep atau citra mental benda-benda
(objek) yang dinamakan buku. Menurut Ogden dan Richards (1923), dalam
karya klasik tentang “teori semantik segi tiga” , kaitan antara lambang, citra
mental atau konsep, dan referen atau objek.
Makna kata buku adalah konsep buku yang tersimpan dalam
otak kita dan dilambangkan dengan kata buku. Gambar di samping menunjukkan
bahwa di antara lambang bahasa dan konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan
lambang bahasa dengan referen atau objeknya tidak berhubungan langsung
(digambarkan dengan garis putus-putus) karena harus melalui
konsep. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semantik mengkaji makna tanda
bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya.
Dalam analisis semantik juga harus disadari, karena bahasa
itu bersifat unik, dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah
budaya maka, analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tetapi
tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Umpamanya, kata ikan
dalam bahasa Indonesia merujuk pada jenis binatang yang hidup dalam air dan
biasa dimakan sebagai lauk; dan dalam bahasa Inggris separan dengan fish.
Tetapi kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau
‘fish’, melainkan juga berarti daging yang digunakan sebagai lauk.
2.2 Pengertian Jenis Makna
Menurut
Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut
pandang. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal
dan makna gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata
atau leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial,
berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan
adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya
dikenal makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu
berdasarkan kriteri lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya
makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik dan sebagainya.
2.2.1 Makna
Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal
adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari
leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau
leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem
dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat
diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat
kata. Lalu, karena itu, dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang
sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera,
atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer, 1994).
Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang
dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam
kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal
akibat serangan hama tikus.
Makna
leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal
berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka
makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses
gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi
(Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu
seberat itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna ’dapat’, dan dalam
kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan
makna gramatikal ’tidak sengaja’.
2.2.2 Makna Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan
makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen
dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar
bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna
referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut
kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna
referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang
disebut ’meja’. Sebaliknya kata karena tidak mempunyai referen, jadi
kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
2.2.3 Makna Denotatif dan Konotatif
Makna
denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif
lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi
menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya.
Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Oleh
karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai ’makna sebenarnya’(Chaer,
1994). Umpama kata perempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai
dua makna yang sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-laki’.
Sebuah
kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ”nilai rasa”,
baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan
tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna
konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah
dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti ’cerewet’, tetapi sekarang
konotasinya positif.
2.2.4 Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap
kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru
menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau
konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai makna yang
jelas, yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh
karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya perlu
diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan
tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari contoh
berikut
(1)
Tangannya luka kena pecahan kaca.
(2)
Lengannya luka kena pecahan kaca.
Kata
tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim
atau bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna
yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari
tangan; sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke
pangkal bahu.
2.2.5 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech
(1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang
dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem
terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna
konseptual ’sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Jadi makna
konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan
makna referensial.
Makna
asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan
adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya,
kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
2.2.6 Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom
adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari makna
unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh dari
idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja
hijau dengan makna ’pengadilan’.
Berbeda
dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau
dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli
dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya peribahasa Seperti anjing
dengan kucing yang bermakna ’dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah
akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan
kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
2.2.7 Makna Kias
Dalam
kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi
dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase,
atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti
konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi,
bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang
dalam arti ’matahari’.
2.3 Relasi Makna
Dalam setiap bahasa, termasuk
bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi
semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan
bahasa lainnya lagi. Relasi
makna atau hubungan makna adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata atau
satuan bahasa (frase, klausa, kalimat) dengan kata atau satuan bahasa lainnya.
Hubungan ini dapat berupa kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna
(antonimi), kegandaan makna (polisemi), kelainan makna (homonimi), ketercakupan
makna (hiponimi), dan ambiguitas.
2.3.1 Sinonim
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno,
yaitu anoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti
‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk
benda atau hal yang sama’.Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai
ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih
sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah
dua buah kata yang bersinonim ;bunga, kembang, dan puspa
adalah tiga buah kata yang bersinonom; mati, wafat, meninggal, dan mampus
adalah empat buah kata yang bersinonim.
Menurut
teori Verhaar yang sama tentu adalah informasinya ; padahal informasi ini bukan
makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat
intralingual. Atau kalau kita mengikuti teori analisis komponen yang sama
adalah bagian atau unsur tertentu saja dari makna itu yang sama. Misalnya kata mati
dan meninggal. Kata mati nemiliki komponen makna (1) tida
bernyawa (2) dapat dikenakan terhadap apa saja ( manusia, binatang, pohon,
dsb). Sedangkan meninggal memiliki komponen makna (1) tidak bernyawa.
(2) hanya dikenakan pada manusia. Maka dengan demikian kata mati dan meninggal
hanya bersinonim pada komponen makna (1) tidak bernyawa.Kerena itu, jelas bagi
kita kalau Ali, kucing, dan pohon bisa mati; tetapi
yang bisa meninggal hanya Ali. Sedangkan kucing dan pohon
tidak bisa.
Ketidak mungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang
bersinonim adalah banyak sebabnya, Antara lain,karena ;
(1) Faktor waktu.Misalnya kata
hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, keduanya tidak
mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno,
klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi
masa kini (modern)
(2) Faktor tempat atau daerah.
Misalnya kata saya dan beta adalah bersinonim. Tetapi kata beta
hanya cocok untuk digunakan dalan konteks pemakaian bahasa Indonesia timur
(Maluku) ; sedangkan kata saya dapat digunakan secara umum di mana
saja.
(3) Faktor Sosial. Misalnya
kata aku dan saya adalah dua buah kata yang bersinonim;
tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya yang tidak
dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status sosialnya lebih
tinggi.
(4) Faktor bidang kegiatan.
Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah
kata yang bersinonim. Namun kata tasawuf hanya lazim dalam agama
Islam; kata kebatinan untuk yang bukan islam; dan kata mistik
untuk semua agama.
(5) Faktor nuansa makna.
Misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau, dan mengintip
adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat memang bisa digunakan
secara umum; tetapi kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan
melihat dengan sudut mata; kata melotot hanya digunakan untuk melihat
dengan mata terbuka lebar: kata meninjau hanya digunakan untuk melihat
dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan kata mengintip hanya cocok
digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.
Dalam beberapa buku pelajaran
bahasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang
sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab selain yang sama bukan
maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata, tetapi juga banyak
terjadiantara satuan-satuan bahasa lainnya. Perhatikan contoh berikut!
(a) Sinonim antar morfem
(bebas) dengan morfem terikat, seperti antara dia dengan nya,
antara saya dengan ku dalam kalimat
(1) Minta bantuan dia
Minta bantuannya
1. Bukan
teman saya
Bukan temanku
(b) Sinonim antar kata dengan
kata seperti antara mati dengan meninggal: antara buruk
dengan jelek.
(c) Sinoninm antara kata
dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara meninggal dengan tutup
usia:antara hamil dengan duduk perut.
(d) Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu
dengan orang tua; antara meninggal dunia dengan pulang
ke rahmatullah.
(e) Sinonim antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola
dengan Bola ditendang adik. Kedua kalimat tersebut dianggap
bersinonim, yang pertama kalimat aktif dan yang kedua lalimat pasif.
Mengenai sinonim ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan. Pertama
tidak semuakata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim. Misalnya kata beras,
salju, batu dan kuning. Kedua ada kata-kata yang
bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya kata benar
bersinonim dengan kata betul; tetapi kata kebenaran tidak bersinonim
dengan kata kebetulan. Ketiga, ada kata-kata yang tidak mempunyai
sinonim pada bentuk dasar tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya
kata jemur tidak mempunyai sinonim tetapi kata menjemur ada
sinonimnya, yaitu mengeringkan; dan berjemur bersinonim
dengan berpanas. Keempat ada kata-kata yang dalam arti “sebenarnya”
tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim.
Misalnya kata hitam dalam makna “sebenarnya” tidak ada sinonimnya,
tetapi dalam arti “kiasan” ada sinonimnya yaitu gelap, mesum, buruk,
jahat dan tidak menentu.
2.3.2 Antonim dan Oposisi
Antonim
berasal dari bahasa Yunani Kuno yang terdiri dari kata onoma yang berarti nama,
dan anti yang berarti melawan. Arti harfiahnya adalah nama lain untuk benda
lain pula. Menurut Verhaar antonim ialah ungkapan (biasanya kata, frase atau
kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain.Misalnya kata bagus
adalah berantonim dengan kata buruk; kata besar
berantonim dengan kata kecil.
Sama halnya dengan sinonim, antonimpun
terdapat pada semua tataran bahasa: tataran morfem, tataran kata, tataran
frase, dan tataran kalimat. Dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem
(terikat) barangkali tidak ada; dalam bahasa Inggaris kita jumpai contoh thankful
dengan thankless, dimana ful dan less berantonim;
antara progresif dengan regresif, dimana fro dan re
berantonim.
Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat
dibedakan menjadi:
2.3.2.1
Oposisi Mutlak
Di sini terdapat pertentangan makna secara
mutlak. Umpamanya antara kata hidup dan mati. Antara hidup
dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu
tidak (belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah
tidak hidup lagi.
2.3.2.2 Oposisi Kutub
Makna
kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat
mutlak, melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada
kata-kata tersebut, misalnya, kata kaya dan miskin adalah dua
buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskain
tidak mutlak orang yang tidak kaya belum tentu meras miskin,
dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya.
Kata-kata
yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti
jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.
2.3.2.3
Oposisi Hubungan
Makna kata
yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya,
kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya.
Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Umpamanya kata menjual
beroposisi dengan kata membeli. Kata menjual dan membeli
walaupun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak.proses
menjual dan proses membeli terjadi pada waktu yang bersamaan,
sehingga bisa dikatakan tak akan ada proses menjual jika tak ada
proses membeli.
Kata-kata
yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja seperti mundur-maju,
pulang-pergi, pasang-surut, memberi-menerima, belajar- mengajar, dan
sebagainaya. Selain itu, bisa pula
berupa kata benda, seperti ayah- ibu, guru-murid, atas-bawah,
utara-selatan, buruh-majikan, dan sebagainya.
2.3.2.4
Oposisi Hierarki
Makna
kata-kata yang beroposisi hierarkial ini mengatakan suatu deret jenjeng atau
tingkatan. Oleh karena itu kata-kata yang beropossisi hierarkial ini adalah
kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan
hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya
kata meter beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena
berada dalam deretan nama satuan yang menyatakan ukuran panjang. Kata kuintal
dan ton beroposisi secara hierarkial karena keduanya berada dalam
satuan ukuran yang menyatakan berat.
2.32.5
Oposisi Majemuk
Selama ini
yang dibicarakan adalah oposisi diantara dua buah kata, seperti mati-hidup,
menjual-membeli, jauh-dekat, prajurit-opsir. Namun, dalam pembedaharaan
kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata.
Misalnya kata berdiri bisa
beroposisi dengan kata duduk, dengan kata berbaring, dengan
kata berjongkok. Keadaan seperti ini lazim disebut dengan kata istilah
oposisi majemuk. Jadi:
duduk
berbaring
berdiri x tiarap
berjongkok
Contoh lain, kata diam yang
dapat beroposisi dengan kata berbicara, bergerak, dan bekerja.
2.3.3
Homonimi, Homofoni, Homograf
Kata homonimi berasal dari
bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang
artinya ‘sama’. Secara rafia homonimi dapat diartikan sebagi “nama sama untuk
benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi
sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan
ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi maknanya tidak
sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya
bentuk-bentuk homonimi, yaitu:
1.
bentuk-bentuk
yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau diales yang berlainan.
2.
bentuk-bentuk
yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.
Hominimi dan sinonimi dapat terjadi pada
tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
1. Homonimi antar morfem, tentunya terjadi
antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya.
2. homonimi antar kata, terjadi antara
sebuah kata dengan kata lainnya. Misalnya antara kata bisa yang
berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup, atau dapat’.
3. homonimi antar frase, misalnya antara
frase cinta anak yang berarti ‘perasaan cinta dari seorang anak lepada
ibunya’ dan frase cinta anak yang berarti ‘cinta lepada anak dari
seorang ibu’.
4. homonimi antar kalimat, misalnya antara
Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti ‘lurah yang baru
diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, atau ‘lurah itu baru menikah lagi
dengan seorang wanita yang cantik’.
Disamping homonimi ada pula istilah homofoni
dan homogfari. Homofoni dilihat dari segi “bunyi”
(homo=sama, fon=bunyi), sedangkan homografi dilihat dari segi
“tulisan, ejaan” (homo=sama, grafo=tulisan).
Homofoni sebetulnya sama saja dengan
homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Namun,
dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis dengan
ejan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna.
2.3.4. Hiponimi dan Hipernimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani
kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo berarti “di bawah’.
Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara
semantik, Verhaar (1978: 137) menyatakan hiponim ahíla ungkapan (biasanya
berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya
dianggap merupakan bagian dari makna statu ungkapan lain.
Kalau relasi antara dua buah kata yang
bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka relasi anatar
dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan
adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di
bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang
merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap
kata lain yang hierarkial berada di atasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi
mudah diterapkan pada kata benda tapi agak sukar pada kata verja atau kata sifat.
2.3.5. Polisemi
Polisemi lazim diartiakn sebagai satuan
bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu.
Umpamanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki enam makna.
Namur, makna –makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada
sangkutpautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari komponen makna yang
ada pada makna asal kata tersebut.
Persoalan lain yang berkenaan
dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya dengan
bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas adalah bahwa
homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata aatu lebih yang
kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata,
maka maknanya pun berbeda.
Di dalam kamus bentuk-bentuk
yang homonimi didaftarkan sebagi entri-entri yang berbeda. Sebaliknya
bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu.
Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalam kamus didaftarkan sebagai
sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu
makna-makan pada bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungannya sama sekali
antara yang satu dengan yang lainnya.
2.3.6. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan
sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini
tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan
polisemi. Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda. Hanya kalau
kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam
ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau
kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang
berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi
karena struktur gramatical itu dibantu oleh unsur intonasi.
Perbedaan antara ambiguitas dan homonimi
adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna
yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang
berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk
tersebut. Lagi pula ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat
sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal.
2.3.7. Redudansi
Istilah redudansi sering diartikan sebagai
‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam statu bentuk ujaran. Secara
semantik masalah redudansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar
semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Makna adalah
statu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan
informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external).
minta sumber referensinya donk/////...
BalasHapus